√ Cerita Rakyat Indonesia #110: Murtado Macan Kemayoran
√ Cerita Rakyat Indonesia #110: Murtado Macan Kemayoran - Selamat berjumpa kembali sahabat SMK NEGERI 1 SERI KUALA LOBAM, Senang dapat bertemu anda kembali untuk membahas materi atau artikel √ Cerita Rakyat Indonesia #110: Murtado Macan Kemayoran, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. Semoga pembahasan postingan atau artikel kategori
Artikel Cerita Rakyat,
Artikel Jakarta, yang kami tulis ini dapat anda pahami. Tanpa memperpanjang basa-basi lagi, kami sampaikan selamat membaca.
Seberapa dalam artikel √ Cerita Rakyat Indonesia #110: Murtado Macan Kemayoran ini dapat kami bahas dan jabarkan kepada anda, kiranya tidak mengurangi makna. Kami hanya berpesan kepada pembaca SMK NEGERI 1 SERI KUALA LOBAM, jadikan artikel kami ini sebagai materi tambahan. Jika masih kurang lengkap, pembaca dapat menambah wawasan dengan mencari artikel serupa diblog lainnya atau menanyakan langsung kepada pakar yang mahir dengan masalah √ Cerita Rakyat Indonesia #110: Murtado Macan Kemayoran. Selamat menambah wawasan!
Karakter-karakter protagonisnya digambarkan memiliki sifat-sifat yang mulia, berpeci, rajin ibadah (pintar pengetahuan agama), pandai silat, kebal peluru, dsb. Sedangkan, karakter antagonisnya digambarkan sebagai tokoh dari meeneer (tuan) Belanda atau pribumi yang menjadi antek meeneer Belanda. Hal ini sedikit berbeda dengan karakter dari cerita rakyat Jawa, misalnya—yang karakter protagonisnya, biasanya, adalah pangeran. Ah, ini hanyalah pandangan saya sendiri. Benar tidaknya, silakan dipahami sendiri ya. Langsung saja kita ke kisahnya yuk…
Di zaman Murtado hidup, tepat di masa Hindia Belanda, banyak jago-jago silat kenamaan di Kemayoran mengkhianati kaumnya sendiri. Mereka lebih suka menjadi antek sinyo-sinyo Belanda. Pasalnya, dengan menjadi antek sinyo-sinyo Belanda, duitnya lebih banyak dan lebih berkuasa tentunya—dari masyarakat Pribumi lainnya, tapi tidak dari Belanda. Walhasil, mereka banyak menebar teror demi memuluskan kebijakan tuan mereka—Belanda dan Tionghoa*. Para jago silat kenamaan di Kemayoran ini dipegang dua orang, yaitu Bek Lihun dan Mandor Bacan.
Ketika di Kemayoran diadakan derapan padi** (memanen padi), Mandor Bacan ditunjuk kompeni untuk mengawasi kegiatan itu. Murtado pun ikut dalam kegiatan itu untuk menemani seorang gadis cantik yang tidak lain adalah kekasih Murtado sendiri. Namun, ketika Mandor Bacan melihatnya, seperti kebanyakan centeng kompeni, ia langsung punya niat kurang ajar. Namun, aksi Mandor Bacan dihalangi oleh Murtado. Merasa memiliki hak berbuat apapun di tempat itu, Mandor Bacan memerintahkan Murtado untuk menyingkir, jika tidak…
“Minggirlah, jika tidak ingin pulang tinggal nama!” tukas Mandor Bacan.
“Silakan kalau Abang mau menjajal,” tantang Murtado.
Terjadilah perkelahian antara Mandor Bacan dan Murtado. Awalnya, perkelahian itu tampak seimbang. Namun, lama-kelamaan terlihat siapa yang lebih unggul. Dengan satu pukulan pungkasan dari Murtado, Mandor Bacan limbung dan ambruk. Mandor Bacan berdiri dengan sempoyongan. Pikirannya bekerja, jika tetap melawan bocah ini, dirinya pasti kalah. Maka, ia memilih kabur meninggalkan tempat perkara untuk kemudian melapor pada Bek Lihun.
Bek Lihun segera ke tempat perkara untuk menuntaskan permasalahan antara Mandor Bacan dengan Murtado. Namun, pembicaraan di antara para jago silat itu tidak menemukan titik temu sehingga harus diselesaikan sekali lagi dengan jalan bertarung. Maka, Bek Lihun pun menjajal kemampuan Murtado. Keduanya memakai jurus-jurus yang lumayan ribet di mata orang biasa. Namun, sayangnya, Murtado jauh lebih cepat, kuat, dan bertenaga. Ketika pukulan Murtado tepat mengenai Bek Lihun terpentallah orang tua itu beberapa langkah ke belakang dan muntah darah tapi tidak sampai game over.
Murtado hendak memberi pukulan penghabisan pada Bek Lihun, tapi orang tua itu mengangkat tangannya menginstruksi bahwa ia menyerah. “Gue menyerah…” tukas Bek Lihun. Murtado mengampuni Bek Lihun dan Mandor Bacan dengan syarat mereka tidak mengganggu lagi siapapun yang ada di Kemayoran. Walaupun, mereka tetap menjadi antek kompeni.
Dan kehidupan pun berjalan seperti biasanya, hingga…
Segerombolan brocomorah di bawah pimpinan Warsa mulai menggasak Kemayoran. Setiap malam, gerombolan ini berhasil merauk harta penduduk, bahkan kadang-kadang melakukan pembunuhan. Aksi para brocomorah ini sebenarnya sudah mendapat respons dari Bek Lihun dkk., namun tampaknya gerombolan Warsa lebih kuat. Karena itu, Kemayoran menjadi tidak aman lagi. Pihak kompeni marah-marah kepada Bek Lihun dkk. Mereka beranggapan dengan ketidakamanan di Kemayoran, aliran dana pajak dan lainnya bakalan tidak berjalan dengan lancar.
Di tengah kegalauan itu, Bek Lihun dkk. datang kepada Murtado untuk meminta bantuan. Merasa keamanan Kemayoran masuk dalam ranah tanggung jawabnya juga, Murtado setuju dengan permintaan Bek Lihun. Bersama dua orang karibnya, Saomin dan Sarpin, Murtado mencari markas Warkas dan kawanannya di sekitaran Karawang. Ketiga orang ini lalu menggosak-asik*** markas Warkas, membuat kawanannya kocar-kacir. Warkas sendiri tewas dalam perkelahian itu. Murtado dan dua kawannya mengambil kembali harta pampasan kawanan Warkas dan dikembalikan kepada masyarakat Kemayoran.
Semua berterima kasih atas jasa Murtado, termasuk kompeni. Para sinyo itu ingin mengangkat Murtado menjadi bek Kemayoran menggantikan Bek Lihun. Tapi, tawaran Belanda ditolak mentah-mentah oleh Murtado. Ia memang ingin menjaga keamanan Kemayoran tapi tidak ingin menjadi antek kompeni. Mottonya: “Lebih baik hidup sebagai rakyat biasa, tapi ikut menjaga keamanan rakyat.” Dalam sejarah Indonesia Murtado dikenal orang-orang sebagai tokoh legendaris seperti Si Pitung, dll.
***
Demikian, cerita rakyat asal Jakarta yang mengisahkan tentang Murtado, Macan Kemayoran.[]
__________
* Pada masa Hindia Belanda, kasta paling rendah dalam strata sosial adalah kasta Pribumi. Karena itu, terjadi banyak perlakuan tidak adil terhadap mereka. Misalnya, kebijakan pajak atau kebijakan pembagian keuntungan.
** Ada syarat yang harus dipenuhi saat kegiatan derapan padi: “setiap memanen lima ikat padi, akan dibagi antara si pemotong dengan Belanda. Si pemotong mendapat satu ikat, sedangkan, kompeni mendapat empat ikat.”
*** Membuat berantakan.
Baru saja anda membaca artikel √ Cerita Rakyat Indonesia #110: Murtado Macan Kemayoran dengan alamat link https://smkn1serikualalobam.blogspot.com/2010/01/cerita-rakyat-indonesia-110-murtado.html
Seberapa dalam artikel √ Cerita Rakyat Indonesia #110: Murtado Macan Kemayoran ini dapat kami bahas dan jabarkan kepada anda, kiranya tidak mengurangi makna. Kami hanya berpesan kepada pembaca SMK NEGERI 1 SERI KUALA LOBAM, jadikan artikel kami ini sebagai materi tambahan. Jika masih kurang lengkap, pembaca dapat menambah wawasan dengan mencari artikel serupa diblog lainnya atau menanyakan langsung kepada pakar yang mahir dengan masalah √ Cerita Rakyat Indonesia #110: Murtado Macan Kemayoran. Selamat menambah wawasan!
√ Cerita Rakyat Indonesia #110: Murtado Macan Kemayoran
Ternyata, selain Si Pitung, Mirah dari Marunda, dan si Jampang, cerita rakyat Jakarta ada lagi nama yang jarang disebut, yaitu: Murtado. Nama ini meyakinkan saya bahwa dari beberapa cerita rakyat asal Jakarta yang saya posting di blog Cerita Rakyat Indonesia, rata-rata bertema jagoan—dengan latar belakang sejarah Indonesia (zaman Hindia Belanda).Karakter-karakter protagonisnya digambarkan memiliki sifat-sifat yang mulia, berpeci, rajin ibadah (pintar pengetahuan agama), pandai silat, kebal peluru, dsb. Sedangkan, karakter antagonisnya digambarkan sebagai tokoh dari meeneer (tuan) Belanda atau pribumi yang menjadi antek meeneer Belanda. Hal ini sedikit berbeda dengan karakter dari cerita rakyat Jawa, misalnya—yang karakter protagonisnya, biasanya, adalah pangeran. Ah, ini hanyalah pandangan saya sendiri. Benar tidaknya, silakan dipahami sendiri ya. Langsung saja kita ke kisahnya yuk…
Cerita Rakyat Murtado Macan Kemayoran
Sudah jamak, jika, orang-orang di daerah Kemayoran mengenal Murtado sebagai anak yang baik. Sebagai anak mantan lurah, Murtado tidaklah seperti anak-anak kebanyakan yang gemar menekan masyarakat dengan kekuasaan. Walaupun, ia jago silat dan tekun menuntut ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu dunia. Kerendahan hatinya ditunjukkan Murtado dengan ringan tangan kepada siapa saja yang membutuhkan bantuannya. Karakter ini yang dinilai oleh masyarakat, dan justru disukai.Di zaman Murtado hidup, tepat di masa Hindia Belanda, banyak jago-jago silat kenamaan di Kemayoran mengkhianati kaumnya sendiri. Mereka lebih suka menjadi antek sinyo-sinyo Belanda. Pasalnya, dengan menjadi antek sinyo-sinyo Belanda, duitnya lebih banyak dan lebih berkuasa tentunya—dari masyarakat Pribumi lainnya, tapi tidak dari Belanda. Walhasil, mereka banyak menebar teror demi memuluskan kebijakan tuan mereka—Belanda dan Tionghoa*. Para jago silat kenamaan di Kemayoran ini dipegang dua orang, yaitu Bek Lihun dan Mandor Bacan.
Ketika di Kemayoran diadakan derapan padi** (memanen padi), Mandor Bacan ditunjuk kompeni untuk mengawasi kegiatan itu. Murtado pun ikut dalam kegiatan itu untuk menemani seorang gadis cantik yang tidak lain adalah kekasih Murtado sendiri. Namun, ketika Mandor Bacan melihatnya, seperti kebanyakan centeng kompeni, ia langsung punya niat kurang ajar. Namun, aksi Mandor Bacan dihalangi oleh Murtado. Merasa memiliki hak berbuat apapun di tempat itu, Mandor Bacan memerintahkan Murtado untuk menyingkir, jika tidak…
“Minggirlah, jika tidak ingin pulang tinggal nama!” tukas Mandor Bacan.
“Silakan kalau Abang mau menjajal,” tantang Murtado.
Terjadilah perkelahian antara Mandor Bacan dan Murtado. Awalnya, perkelahian itu tampak seimbang. Namun, lama-kelamaan terlihat siapa yang lebih unggul. Dengan satu pukulan pungkasan dari Murtado, Mandor Bacan limbung dan ambruk. Mandor Bacan berdiri dengan sempoyongan. Pikirannya bekerja, jika tetap melawan bocah ini, dirinya pasti kalah. Maka, ia memilih kabur meninggalkan tempat perkara untuk kemudian melapor pada Bek Lihun.
Bek Lihun segera ke tempat perkara untuk menuntaskan permasalahan antara Mandor Bacan dengan Murtado. Namun, pembicaraan di antara para jago silat itu tidak menemukan titik temu sehingga harus diselesaikan sekali lagi dengan jalan bertarung. Maka, Bek Lihun pun menjajal kemampuan Murtado. Keduanya memakai jurus-jurus yang lumayan ribet di mata orang biasa. Namun, sayangnya, Murtado jauh lebih cepat, kuat, dan bertenaga. Ketika pukulan Murtado tepat mengenai Bek Lihun terpentallah orang tua itu beberapa langkah ke belakang dan muntah darah tapi tidak sampai game over.
Murtado hendak memberi pukulan penghabisan pada Bek Lihun, tapi orang tua itu mengangkat tangannya menginstruksi bahwa ia menyerah. “Gue menyerah…” tukas Bek Lihun. Murtado mengampuni Bek Lihun dan Mandor Bacan dengan syarat mereka tidak mengganggu lagi siapapun yang ada di Kemayoran. Walaupun, mereka tetap menjadi antek kompeni.
Dan kehidupan pun berjalan seperti biasanya, hingga…
Segerombolan brocomorah di bawah pimpinan Warsa mulai menggasak Kemayoran. Setiap malam, gerombolan ini berhasil merauk harta penduduk, bahkan kadang-kadang melakukan pembunuhan. Aksi para brocomorah ini sebenarnya sudah mendapat respons dari Bek Lihun dkk., namun tampaknya gerombolan Warsa lebih kuat. Karena itu, Kemayoran menjadi tidak aman lagi. Pihak kompeni marah-marah kepada Bek Lihun dkk. Mereka beranggapan dengan ketidakamanan di Kemayoran, aliran dana pajak dan lainnya bakalan tidak berjalan dengan lancar.
Di tengah kegalauan itu, Bek Lihun dkk. datang kepada Murtado untuk meminta bantuan. Merasa keamanan Kemayoran masuk dalam ranah tanggung jawabnya juga, Murtado setuju dengan permintaan Bek Lihun. Bersama dua orang karibnya, Saomin dan Sarpin, Murtado mencari markas Warkas dan kawanannya di sekitaran Karawang. Ketiga orang ini lalu menggosak-asik*** markas Warkas, membuat kawanannya kocar-kacir. Warkas sendiri tewas dalam perkelahian itu. Murtado dan dua kawannya mengambil kembali harta pampasan kawanan Warkas dan dikembalikan kepada masyarakat Kemayoran.
Semua berterima kasih atas jasa Murtado, termasuk kompeni. Para sinyo itu ingin mengangkat Murtado menjadi bek Kemayoran menggantikan Bek Lihun. Tapi, tawaran Belanda ditolak mentah-mentah oleh Murtado. Ia memang ingin menjaga keamanan Kemayoran tapi tidak ingin menjadi antek kompeni. Mottonya: “Lebih baik hidup sebagai rakyat biasa, tapi ikut menjaga keamanan rakyat.” Dalam sejarah Indonesia Murtado dikenal orang-orang sebagai tokoh legendaris seperti Si Pitung, dll.
***
Demikian, cerita rakyat asal Jakarta yang mengisahkan tentang Murtado, Macan Kemayoran.[]
__________
* Pada masa Hindia Belanda, kasta paling rendah dalam strata sosial adalah kasta Pribumi. Karena itu, terjadi banyak perlakuan tidak adil terhadap mereka. Misalnya, kebijakan pajak atau kebijakan pembagian keuntungan.
** Ada syarat yang harus dipenuhi saat kegiatan derapan padi: “setiap memanen lima ikat padi, akan dibagi antara si pemotong dengan Belanda. Si pemotong mendapat satu ikat, sedangkan, kompeni mendapat empat ikat.”
*** Membuat berantakan.
Penutup Artikel √ Cerita Rakyat Indonesia #110: Murtado Macan Kemayoran
Demikian artikel √ Cerita Rakyat Indonesia #110: Murtado Macan Kemayoran kali ini, semoga bisa memberi manfaat untuk anda semua pembaca blog SMK NEGERI 1 SERI KUALA LOBAM. Allright, sampai jumpa pada postingan artikel lainnya.
Baru saja anda membaca artikel √ Cerita Rakyat Indonesia #110: Murtado Macan Kemayoran dengan alamat link https://smkn1serikualalobam.blogspot.com/2010/01/cerita-rakyat-indonesia-110-murtado.html
Artikel √ Cerita Rakyat Indonesia #110: Murtado Macan Kemayoran ini kami arsipkan pada kategori Cerita Rakyat Jakarta.
Post a Comment for "√ Cerita Rakyat Indonesia #110: Murtado Macan Kemayoran"